Pinjaman Luar Negeri dan Sketsa Pasar Pertahanan Indonesia

Fremm Frigate. (tangkapan layar via fincantieri.com)

Pinjaman Luar Negeri (PLN) masih menjadi andalan Indonesia dalam pelaksanaan program modernisasi kekuatan pertahanan dan tradisi ini telah berlangsung sejak era Orde Baru. Mayoritas PLN berasal dari institusi lembaga keuangan komersial seperti lembaga penjamin kredit ekspor dan kreditor swasta asing daripada berasal dari pinjaman bilateral atau multilateral.

Kebijakan pemerintah mengandalkan PLN berangkat dari fakta bahwa pemerintah tidak mampu menyediakan anggaran belanja modal pada APBN Kementerian Pertahanan dalam jumlah besar, di mana nilai anggaran tersebut hanya berkisar 30% dari total anggaran kementerian itu. Belanja modal selalu kalah oleh belanja pegawai, apalagi dalam lima tahun terakhir TNI gemar membuat organisasi baru sehingga prestise pangkat jenderal atau ekuivalen mengalami degradasi.

Apabila pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angka PLN yang disetujui adalah US$ 6,55 miliar, maka selama pemerintahan Presiden Joko Widodo dari 2015 sampai 2022 telah disetujui PLN sekitar US$ 22,2 miliar untuk modernisasi kekuatan pertahanan. Sehingga pada jangka waktu 2010-2022 pemerintah telah menyepakati PLN senilai US$ 28,75 miliar guna memenuhi target Minimum Essential Force (MEF).

Nilai demikian akan bertambah kalau masih terdapat ruang fiskal pada tahun anggaran 2023 dan 2024, sebab tersisa US$ 6,2 miliar alokasi PLN yang belum mendapatkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) dari Menteri Keuangan. Total PLN niscaya menyentuh US$ 40 miliar pada 2024 jika masih ada ruang fiskal sehingga permintaan tambahan PLN bernilai US$ 5 miliar dari Kementerian Pertahanan pada akhir 2022 dapat dipenuhi oleh Kementerian Keuangan.

Mengacu pada informasi yang tersedia, tenor PLN yang disepakati antara Kementerian Keuangan dan pihak lender rata-rata antara 20 tahun hingga 30 tahun dengan tingkat suku bunga yang cukup kompetitif. Adapun para lender rata-rata berasal dari lembaga keuangan Eropa seperti BNP Paribas dan Credit Agricole karena sebagian besar akuisisi senjata berasal dari Benua Biru. Dalam perkembangan terakhir, lembaga keuangan Jepang pun mulai tercatat sebagai lender untuk pembiayaan belanja senjata Indonesia, antara lain karena tipe perlengkapan pertahanan yang dibeli diproduksi oleh pabrikan Jepang.

Terkait dengan PLN yang telah disetujui selama dua tahun terakhir, ke mana saja dana tersebut mengalir? Dari sisi nilai, Prancis adalah salah negara sasaran belanja Indonesia dalam jumlah yang cukup besar sejak 2021.

Program akuisisi pesawat tempur Rafale telah dua kali mendapatkan PSP dengan total US$ 4 miliar, begitu pula pengadaan pesawat angkut A400M, pesawat VIP Falcon 8X dan radar pertahanan udara GM403. Nilai itu akan meningkat drastis jika Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan meluluskan permintaan Menteri Pertahanan untuk tambahan alokasi PLN untuk jet tempur buatan Dassault Aviation sebesar US$ 4,1 miliar.

Begitu pula apabila Kementerian Pertahanan memilih Naval Group untuk memasok kapal selam diesel elektrik ke Indonesia dan program itu mendapatkan PSP dari Menteri Keuangan. Peluang lain yang masih terbuka bagi Prancis adalah pengadaan satelit pertahanan senilai US$ 300 juta yang telah mendapatkan PSP, di mana Airbus Defence and Space nampaknya akan bersaing dengan Thales Alenia Space.

Diperkirakan, industri pertahanan Prancis akan mendapatkan kucuran dana sekitar US$ 12 miliar dari pesanan Indonesia selama jangka waktu 2021-2024 apabila anggaran tambahan untuk pesawat tempur Rafale disetujui, kapal selam kelas Scorpene dipilih oleh Indonesia dan Airbus Defence and Space mampu menyingkirkan pesaingnya.

Turki adalah pihak berikutnya yang akan menikmati belanja senjata Indonesia, di mana pihak yang diuntungkan antara lain Havelsan, Roketsan, Baykar dan TAIS. Dibandingkan dengan Prancis, nilai kontrak pengadaan senjata dari Turki di semuanya di bawah US$ 500 juta per kegiatan.

Menurut kalkulasi, nilai total PSP yang terkait dengan pengadaan senjata dari Turki sejauh ini sekitar US$ 1,5 miliar dan angka tersebut masih mungkin bertambah hingga 2024 namun tidak akan meningkat secara tajam. Dengan kata lain, terdapat jurang yang cukup lebar antara nilai total belanja senjata Indonesia ke Turki dibandingkan dengan kegiatan serupa dengan Prancis.

Turki merupakan pemain baru dalam pasar pertahanan Indonesia dan baru melakukan penetrasi pasar secara masif sejak 2020. Sebelumnya, kehadiran industri pertahanan Turki di Indonesia dipelopori oleh FNSS melalui pengembangan bersama tank medium Harimau yang berbasis pada keluarga kendaraan lapis baja Kaplan.

Penetrasi masif industri pertahanan Turki dalam tiga tahun terakhir tidak lepas dari lobi jaringan industri pertahanan Turki ke Kementerian Pertahanan. Selain Prancis, Turki merupakan salah satu negara yang beberapa kali dikunjungi oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sejak menjabat pada 23 Oktober 2020.

Dari sisi nilai kontrak, Italia dapat melampaui peringkat Turki apabila Kementerian Keuangan menyetujui pembiayaan € 4,1 miliar untuk akuisisi enam fregat FREMM. Sampai saat ini nasib pengadaan fregat FREMM yang kontraknya telah ditandatangani pada 4 Juni 2021 tergantung pada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan.

Pada sisi lain, kredibilitas Indonesia di mata Italia juga dipertaruhkan terkait rencana pembelian fregat buatan Fincantieri tersebut. Pihak Italia nampaknya terus menekan Indonesia guna memastikan bahwa kontrak tersebut akan dieksekusi oleh Indonesia.

Korea Selatan yang pada periode kedua Presiden Yudhoyono dan periode pertama Presiden Widodo sempat menikmati pesanan cukup besar dari Indonesia kini berada di peringkat bawah pasar pertahanan Indonesia. Sejak 2021, Indonesia hanya membelanjakan US$ 240 juta untuk pengadaan pesawat Lead-In Fighter Trainer (LIFT) T-50, sementara kontrak pembelian gelombang kedua kapal selam DSME Type 209 macet karena Indonesia tidak puas dengan kondisi kapal selam gelombang pertama.

Mengacu pada Blue Book 2020-2024, nampaknya Indonesia tidak mempunyai minat untuk membelanjakan PLN dalam jumlah besar ke Korea Selatan dibandingkan periode-periode sebelumnya. Berdasarkan tataran empiris, Korea Selatan memiliki kekuatan pada industri dirgantara dan kelemahan pada industri maritim, di mana Indonesia adalah korban dari kelemahan industri maritim tersebut.

Pemain besar dalam pasar pertahanan global yaitu Amerika Serikat belum menunjukkan tajinya di pasar Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sejauh ini PSP yang disetujui untuk berbelanja senjata buatan Amerika Serikat baru sebatas sejumlah rudal untuk pesawat tempur F-16 Indonesia.

Pada 2015-2020, Indonesia berutang US$ 500 juta kepada sindikasi finansial untuk mendatangkan lima pesawat angkut C-130J-30 dari negara itu. Rencana akuisisi F-15EX yang akan memakai skema Foreign Military Sales (FMS) sampai sekarang masih penuh tantangan karena Indonesia harus mencari solusi dalam pembiayaan program tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*