Jerman menjadi “bukti baru” perlahan negara-negara menjauhi Amerika Serikat dan mendekati China. Laporan The New York Times dikutip Jumat (14/4/2023) saat AS berusaha untuk membatasi hubungan ekonomi dengan China, dua perusahaan besar asal Jerman, Volkswagen (VW) dan BASF, malah memperluas investasi besar mereka di Negeri Tirai Bambu.
“Tanpa bisnis di China, restrukturisasi yang diperlukan di sini tidak akan mungkin terjadi,” kata Chief Executive BASF, Martin Brudermüller, kepada wartawan di konferensi pendapatan tahunan perusahaannya pada Februari.
“Sebutkan saya hanya satu investasi di Eropa tempat kami dapat menghasilkan uang,” katanya lagi.
Ia juga mengatakan pendapatan dari China memungkinkan perusahaan untuk secara efektif mengimbangi kerugian dari biaya energi yang tinggi di Eropa. Termasuk peraturan lingkungan yang ketat.
Hal yang sama juga disampaikan eksekutif di Volkswagen, yang secara pribadi mengakui produsen mobil itu berada dalam kesulitan yang sama. Biaya energi dan tenaga kerja yang tinggi membuat perusahaan sangat bergantung pada penjualan dari China untuk membantu menanggung operasi di Eropa.
Di seluruh Jerman, para eksekutif menyadari bahwa investasi semacam itu bertentangan dengan upaya AS untuk mengisolasi China secara ekonomi. Tapi, perusahaan membantah, pendapatan dari China ‘sangat penting’ bagi bisnis mereka untuk berkembang dan tumbuh di Eropa.
Volkswagen sendiri- yang memiliki lebih dari 40 pabrik di China- mengumumkan akan menyesuaikan model dengan keinginan pelanggan China, seperti fitur mesin karaoke in-dash. Produsen mobil ini juga akan menginvestasikan miliaran dalam kemitraan lokal dan lokasi produksi.
Ini adalah bagian dari rencana yang diresmikan VW tahun lalu. Awalnya mereka mengusung tema “Di China untuk China”.
Sementara perusahaan kimia BASF, dengan 30 fasilitas produksi di China, berencana membelanjakan 10 miliar euro atau sekitar Rp162 triliun untuk kompleks produksi kimia baru di China. Ukurannya akan menyaingi kompleks kantor pusat besarnya di Ludwigshafen, yang memiliki luas sekitar empat mil persegi.
Jerman dilaporkan bergantung pada China untuk menyediakan produk teknologi penting, termasuk ponsel dan LED, serta bahan mentah, termasuk litium dan elemen tanah jarang. Ini sangat penting bagi rencana Jerman untuk melakukan transisi ke energi dan transportasi yang lebih bersih.
Dengan penjualan perdagangan luar negeri sebesar 297,9 miliar euro tahun lalu, China telah menjadi mitra dagang terbesar Jerman selama tujuh tahun berturut-turut. Tetapi defisit perdagangan Jerman dengan China semakin miring, sebuah tren yang memburuk selama gangguan rantai pasokan yang disebabkan oleh pandemi virus corona.
Tahun lalu, impor dari China meningkat sepertiga, menjadi 191 miliar euro. Sedangkan ekspor hanya tumbuh 3%, menjadi 107 miliar euro.
Satu bidang di mana Jerman telah lama mendominasi hubungan dengan China adalah industri otomotif. Pembuat mobil Jerman, termasuk BMW dan Mercedes-Benz, menjual sekitar sepertiga dari semua kendaraan yang mereka produksi di China, melebihi penjualan di seluruh Eropa Barat.
Tetapi data terbaru menunjukkan bahwa Jerman tampaknya kehilangan cengkeramannya di pasar China. Terutama karena popularitas kendaraan listrik yang diproduksi di dalam negeri melonjak.
“Kami ingin memiliki pendekatan positif ke China. Bukan pendekatan anti-China,” kata penasihat ekonomi Kanselir Jerman Olaf Scholz, Jörg Kukies, mengatakan pada pertemuan para pemimpin perdagangan Jerman dan Amerika.