Rupiah sukses mencatat kinerja impresif melawan dolar Amerika Serikat (AS) dengan menguat empat pekan beruntun. Melansir data Refinitiv, rupiah tercatat menguat 0,53% ke Rp 14.910/US$ minggu lalu, dalam empat pekan total penguatannya 3,5%.
Tidak hanya itu, rupiah juga menjadi mata uang terbaik Asia sepanjang tahun ini dengan penguatan 4,4%, dan menjadi yang terbaik ke-enam di dunia.
Rupiah mulai menguat setelah Silicon Valley Bank (SVB) kolaps di Amerika Serikat, hal ini membuat bank sentral AS (The Fed) diprediksi tidak agresif lagi dalam menaikkan suku bunga. Bahkan banyak yang memprediksi suku bunga tidak akan dinaikkan lagi hingga dipangkas akhir tahun ini.
Tetapi, melihat data-data terbaru dari Negeri Paman Sam, pasar kembali meragukan hal tersebut.
Data yang dirilis Jumat pekan lalu menunjukkan pasar tenaga kerja masih kuat. Sepanjang Maret perekonomian AS dilaporkan mampu menyerap 236.000 tenaga kerja diluar sektor pertanian (non-farm payrolls), sejalan dengan ekspektasi analis.
Kemudian, tingkat pengangguran turun menjadi 3,5% dari sebelumnya 3,6%. Rata-rata upah per jam naik 4,2% year-on-year, tetapi menjadi yang terendah sejak Juni 2021.
Data tenaga kerja merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter, selain juga data inflasi.
Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang sulit turun membuat pasar kembali memprediksi The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada Mei.
Inflasi inti PCE tumbuh 0,3% pada Februari dari bulan sebelumnya, lebih rendah dari prediksi Dow Jones 0,4%. Sementara secara tahunan, tumbuh 4,6% juga lebih rendah dari prediksi 4,7%.
Pekan ini akan ada rilis data inflasi AS berdasarkan consumer price index (CPI), yang bisa mempengaruhi ekspektasi suku bunga di AS. Sementara dari dalam negeri ada posisi cadangan devisa Maret yang dirilis hari ini.
Data ini bisa memberikan gambaran seberapa besar kebijakan operasi moneter Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) sejak 1 Maret lalu.
Jika cadangan devisa menunjukkan kenaikan yang signifikan, artinya ada kemungkinan kebijakan BI tersebut sukses menarik valas eksportir yang ditempatkan di luar ini. Hal ini bisa menjaga stabilitas rupiah ke depannya, meski di pekan ini risiko merosot sangat besar. Sebab, rupiah yang belakangan menguat tajam, dan ekspektasi suku bunga di Amerika Serikat.
Secara teknikal, rupiah saat ini berada di bawah rerata pergerakan 50 hari (Moving Average 50/MA 50), MA 100 dan MA 200. Sehingga ruang penguatan tentunya terbuka lebih besar.
Penguaran Mata Uang Garuda semakin terakselerasi setelah sukses menembus level psikologis setelah sukses melewati Rp 15.090/US$ yang sebelumnya menjadi support kuat.
Level tersebut merupakan Fibonacci Retracement 50% yang ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Selama mampu bertahan di bawah level psikologis Rp 15.000/US$, rupiah berpeluang menguat lebih jauh ke kisaran Rp 14.900/US$ – Rp 14.840/US$ yang menjadi support kuat pekan ini.
Sementara itu indikator Stochastic pada grafik harian mulai masuk wilayah jenuh jual (oversold).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Dengan stochastic masuk wilayah oversold, artinya ada risiko rupiah mengalami koreksi. Jika menembus kembali level psikologis, rupiah berisiko menuju Rp 15.090/US$ yang akan menjadi resisten terdekat yang bisa menahan kemerosotan. Tetapi jika ditembus, ada risiko pelemahan akan lebih besar.